Cintaku Terpaut Di PAUD (episode 1)

Pengalaman adalah guru terbaik bagi kehidupan. Bagi saya, pepatah ini sudah terbukti kebenarannya. Segudang pengalaman masa lalu telah membawa saya pada sebuah rasa cinta di mana sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benak pikiran. 

Menjadi seorang pendidik di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) awalnya bukan merupakan impian. Masih teringat ketika bapak/ibu guru SD, SMP maupun SMA menanyakan apa cita-cita saya, jawaban tidak pernah berubah yaitu ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara. Sangat sederhana kan?

Karena dari awal tidak memiliki sebuah cita-cita yang jelas maka dalam menempuh pendidikan formalpun kurang terarah. 

Nah, pada edisi kali ini penulis akan berbagi cerita tentang sebuah proses perjalanan menemukan potensi diri di mana terdapat banyak sekali pelajaran yang bisa diambil sebagai ibroh (hikmah) terutama bagi orang tua dalam hal mendidik anak.

Besar di lingkungan keluarga awam agama dengan ke dua ortu juga bukan dari kalangan terdidik  rasanya "sesuatu banget". Sering terjadi miskomunikasi antara ortu dengan anak yang kadang sampai menimbulkan gejolak perasaan. Apalagi waktu itu belum ada kegiatan semacam "parenting" sehingga ortu dalam mendidik anak ya mengalir begitu saja, tidak dilandasi ilmu yang memadai.

Walaupun kondisi keluarga seperti itu, saya tetap bangga pada ortu terutama dalam hal etos kerja dan semangatnya mencari ilmu. Bapak yang hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat) akhirnya termotivasi mengikuti program kejar paket hingga sampai C (setingkat SMA). Almarhumah ibu yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pun juga ikut kegiatan keaksaraan sampai akhirnya bisa membaca dan menulis.

#Ibroh pertama : Menjadi orang tua itu tidak mudah, perlu bekal ilmu dan pengetahuan. Sebagai  orang tua sebaiknya tidak malas belajar dan selalu semangat mencari ilmu, entah itu melalui kegiatan parenting di sekolah, seminar, pengajian, membaca buku dan sebagainya.

Bapak sering mendampingi saya belajar dan membantu mengerjakan PR dari guru. Ketika saya sakit, bapak lah yang selalu memijit-mijit dan mengantar ke dokter. 

Secara psikis, saya memang lebih dekat dengan bapak dari pada ibu. Mungkin karena perhatian ibu sudah terforsir buat mengasuh ke dua adik saya yang masih kecil-kecil.

Bapak sangat telaten mengajari saya  keterampilan hidup seperti cara menyapu halaman, melipat baju, mengepel lantai, dsb. Tetapi semua itu tidak berlangsung lama.

Ketika saya kelas 4 SD bapak terpilih menjadi Kepala Dusun (Dukuh) sehingga otomatis kesibukannya makin bertambah. Sebelumnya bapak juga sudah punya usaha agen koran (surat kabar dan majalah) yang jumlah pelanggannya waktu itu mencapai 2000 an. Ibu juga punya usaha rumahan (home industri) membuat emping mlinjo dan kerupuk dengan dibantu 8 orang tetangga sekitar rumah.

Alhamdulillah dari segi  ekonomi, keluarga kami tidak pernah kekurangan. Tetapi dengan beban pekerjaan ortu sepadat itu berimbas pada perhatian ortu terhadap ke 4 anaknya menjadi sangat berkurang. Mereka sudah jarang mengontrol perkembangan belajar kami. Ketika di rumah pun kami bebas, mau belajar apa enggak terserah. Yang penting kami semua naik kelas saja ortu sudah puas.

Perilaku seorang anak yang kadang menjengkelkan ortunya bisa jadi itu merupakan bentuk pancingan agar diperhatikan. 

Begitu juga yang saya lakukan waktu itu. Saya sering mengajak kakak pura-pura tidur di lantai dengan alas sandal jepit yang di tata rapi, melihat kami seperti itu biasanya bapak "menggendong" memindahkan kami ke tempat tidur. Ketika bapak pergi kami tertawa senang. Pernah saya ngumpet di kolong tempat tidur hingga tertidur sampai membuat ortu galau.

Selain aktifitas sekolah, masa usia SD saya habiskan sebagian besar waktu hanya untuk bermain. Hampir tiap hari sepulang sekolah langsung gabung sama teman-teman sekitar rumah. Karena teman main kebanyakan laki-laki maka jenis permainannya pun cenderung ke fisik motorik, seperti main kelereng, main layang-layang, egrang, sepak bola, sepak sekong, eteng, benthik, gobak sodor, jek-jekan, kasti, bahkan sampai bergelantungan di dahan pohon sudah biasa.

Sering juga ikut teman menggembala kambing dan cari ikan di sungai pulang sampai maghrib. Ibu suka marah ketika saya pulang. Tetapi kemarahan beliau tidak membuat saya jera, lain hari terulang lagi, lagi, dan lagi. Masih teringat ibu pernah marah besar dan berkata : "nek dikandani ora nggugu sesuk rasah sekolah! tak tukokke wedus wae kepiye?".

Karena pergaulan saya kebanyakan dengan anak laki-laki itulah membuat saya terbentuk menjadi anak yang super aktif dan cenderung bandel. Ortu memberi label pada saya sebagai anak "ngeyel" yang susah diatur. Meskipun ibu sering marah tetapi hanya sebatas kata-kata, beliau tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Hanya kalimat keluhan "Ya Allah..paringono sabaaarrrr" itu yang terdengar.

Model busana juga seperti laki-laki, ketika bermain cukup pakai kaos dan celana pendek. Anting-anting, kalung, dan cincin yang dibelikan ibu pun gak saya pakai. Cincin pernah saya taruh sembarangan, tidak sengaja terjepit pintu meja belajar sampai gepeng. Akhirnya semua perhiasan diminta ibu untuk di jual kembali.

Selain bermain, saya dan teman-teman sering juga berkelahi dengan anak-anak lain RT. Ketika bulan puasa tiba, kami selalu membuat long bumbung dari bambu, ketika dinyalakan suaranya menggelegar. Semakin keras suara yang dihasilkan akan membuat kami semakin senang.

Karena terlalu banyak main dan jarang belajar maka wajar ketika lulus SD NEM saya "jeblog". Ortu terlihat sangat kecewa tetapi tidak sampai marah besar, hanya membanding-bandingkan kenapa saya tidak seperti kakak yang NEM nya bagus sehingga bisa masuk SMP N 9 Yogya. Kakak memang anaknya rajin belajar, rajin membantu pekerjaan rumah, mau "momong" adik, dan sangat penurut. Pokoknya menjadi kebanggaan dan andalan ortu lah.

Dengan bekal NEM rendah akhirnya bapak memasukkan saya ke SMP Muhammadiyah 7 Kotagede. Dari sinilah saya justru mendapatkan banyak ilmu tentang keislaman. Saya juga mulai ikut pengajian remaja masjid di dusun.

Karena sekolah liburnya Jum'at maka sudah jarang sekali bermain dengan tetangga. Bermain dengan mereka hanya ketika libur panjang. Biasanya kami jalan-jalan atau naik sepeda pergi ke tempat-tempat wisata. 

Pernah saya di tantang kuat gak naik sepeda ke pantai Glagah. Akhirnya berangkatlah kami bertujuh dan saya perempuan sendiri naik sepeda ke pantai Glagah. Meskipun sempat tersesat jauh karena salah jalan ya akhirnya sampai juga ke sana. Karena uang saku minim, waktu mau masuk pintu gerbang saya disuruh merayu ke bapak penjaga TPR agar dapat masuk dengan gratis. Dengan wajah memelas, saya bilang ke penjaga "pak, niki pengin ten pantai tapi sangune pun telas nggih tumbas mie ayam". Penjaga tanya "omahmu ngendi?", saya jawab Kotagede. Mereka kaget dan akhirnya kami dibiarkan masuk tanpa beli tiket. Sisa uang saku kami belikan semangka yang ada di dekat pantai.

#Ibroh keduasesibuk apapun orang tua seharusnya tetap memperhatikan tumbuh kembang anak-anaknya dan mengontrol lingkungan pergaulannya. Anak tidak hanya butuh materi tetapi sangat membutuhkan juga sentuhan kasih sayang dan perhatian dari ke dua orang tuanya.

Terjadi perubahan besar pada diri saya ketika menginjak kelas 3 SMP. Sebuah peristiwa yang membuat hati saya meleleh. Apa itu? Insya Allah akan saya ceritakan pada episode selanjutnya..@trismiati





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manfaat Kegiatan Eksplorasi Alam

Ketika anak berada pada masa emas (0 - 5 tahun), otak anak mengalami perkembangan yang sangat dahsyat yaitu sekitar 80 %. Pada masa sensitif...

Popular Posts