Beberapa hari kemarin, ummat Islam melakukan ibadah qurban.
Ketika darah terpancar dari leher hewan qurban, semestinya kita merenung kembali tentang hakekat qurban.
Ketika darah terpancar dari leher hewan qurban, semestinya kita merenung kembali tentang hakekat qurban.
Jika hakekat qurban tidak tertangkap maka jadilah peristiwa itu hanya sekedar tradisi tanpa arti, mubadzir dan sia-sia belaka.
Apabila kita mengenang kembali sikap tulus Ibrahim AS yang mengorbankan anaknya tercinta Ismail dan disambut keikhlasan hati sang putera, terpancarlah sebuah teladan utama dalam kehidupan umat manusia.
Sebagai seorang ayah yang telah lama merindukan kehadiran anak dari pernikahannya dengan Hajar hingga Allah SWT pun akhirnya mengabulkan do'anya dengan kelahiran Ismail tiba-tiba harus dikorbankan demi melaksanakan perintah Allah SWT.
Ismail yang menjelang dewasa tiba-tiba diperintahkan mengorbankan dirinya, tentu itu juga sebuah perintah yang sangat berat karena selain akan mengakibatkan kematian dirinya juga akan meninggalkan ayah ibunya yang sangat dia cintai.
Di lain pihak, bagaimana perasaan Hajar sebagai seorang ibu yang telah bersusah payah mengandung dan membesarkan permata hatinya, tiba-tiba harus mengorbankannya?
Secara manusiawi tentu tugas itu amat berat tetapi buat keluarga Ibrahim AS, hal itu adalah merupakan suatu kebahagiaan dan kemuliaan.
Keluarga Ibrahim AS justru menyambut tugas tersebut dengan suka cita, lantaran berkesempatan mengorbankan sesuatu yang paling berharga baginya untuk Allah SWT.
Rasa suka cita yang dialami keluarga Ibrahim AS untuk berkorban dilandasi atas pemahaman yang benar tentang nilai kehidupan.
Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Allah, menjadi milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
Sebagai umat Islam kita pun semestinya punya prinsip seperti itu.
Suami tampan, istri cantik, anak-anak yang manis, harta melimpah, pangkat dan jabatan tinggi semuanya datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Suami tampan, istri cantik, anak-anak yang manis, harta melimpah, pangkat dan jabatan tinggi semuanya datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Begitu juga tentang kematian, meninggalkan dunia lantaran tunduk dan berjuang untuk agama Allah adalah meninggalkan yang sementara untuk menuju yang abadi.
Meninggal dengan cara seperti itu dinamakan mati syahid dan itu seharusnya menjadi cita-cita tertinggi seorang mukmin.
Keluarga Ibrahim AS telah memberi contoh kepada kita bahwa seorang mukmin harus mendahulukan kepentingan Allah di atas kepentingan pribadi dan keluarganya, seperti Firman Allah SWT dalam Q.S At Taubah 24 yang artinya:
"Katakanlah : jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah pemukiman yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya."
Fenomena kehidupan saat ini dimana seorang ayah lebih mengutamakan kepentingan istri, anak, maupun keluarganya sudah banyak kita jumpai di lingkungan sekitar kita.
Misalnya, ketika diminta menjadi donatur kegiatan keagamaan merasa berat, tetapi ketika anak istri minta dibelikan barang-barang kesukaan langsung dikabulkan betapapun mahalnya.
Lebih tragisnya lagi kalau seorang ayah menggunakan kekayaannya hanya untuk sekedar berfoya-foya memuaskan hobynya, tentu waktunya pun akan terbuang sia-sia tanpa manfaat.
Lebih tragisnya lagi kalau seorang ayah menggunakan kekayaannya hanya untuk sekedar berfoya-foya memuaskan hobynya, tentu waktunya pun akan terbuang sia-sia tanpa manfaat.
Padahal dalam kehidupan yang semakin berat seperti saat ini, pengorbanan kita dalam menegakkan agama Allah sangat terbuka luas di berbagai bidang kehidupan.
Kita dapat berkorban menggunakan harta kekayaan untuk mendukung kerja dakwah seperti membangun masjid, sekolah, rumah tahfidz, dan sebagainya.
Bisa juga menginfakkan harta buat saudara-saudara kita korban gempa Lombok atau yang lain.
Bisa juga menginfakkan harta buat saudara-saudara kita korban gempa Lombok atau yang lain.
Bagi yang dari segi kekayaan sangat terbatas, bisa mengorbankan waktu, tenaga, maupun pikiran bagi perkembangan lembaga-lembaga sosial dan dakwah yang ada.
Sekecil apapun peran kita jika dilakukan hanya demi meraih ridho Allah dan diiringi dengan kebenaran sesuai syari'at Islam, Insya Allah akan dihitung sebagai amal sholih.
Siapkah keluarga kita mengambil teladan dari pengorbanan keluarga Ibrahim?
@trismiati